Sejarah Tahun Baru
Bila
melongok sejarahnya, penetapan 1 Januari sebagai pertanda Tahun Baru
bermula pada abad 46 Sebelum Masehi (SM). Ketika itu Kaisar Julius
Caesar membuat kalender Matahari. Kalender yang dinilai lebih akurat
ketimbang kalender-kalender lain pernah dibuat sebelumnya.
Sebelum
Caesar membuat kalender Matahari, pada abad 153 SM, Janus seorang
pendongeng di Roma yang menetapkan awal mula tahun. Dengan dua
wajahnya, Janus mampu melihat kejadian di masa lalu dan masa depan.
Dialah yang menjadi simbol kuno resolusi (sebuah pencapaian) Tahun Baru.
Bangsa Roma berharap dengan dimulainya tahun yang baru,
kesalahan-kesalahan di masa lalu dapat dimaafkan. Sebagai penebus dosa,
tahun baru juga ditandai dengan tukar kado.Setelah menyimak
sejarahnya, marilah kita lihat dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah
dan atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk menyerupai orang-orang
kafir di dalam hal yang menjadi ciri dan kekhususan mereka.
Seperti
yang telah dijelaskan diatas, bahwa tahun baru masehi awalnya
merupakan suatu ritual Bangsa Roma, dan bahkan dianggap sebagai penebus
dosa.
Hukum Merayakan Tahun Baru dan Dalil Dalilnya
Hukum Merayakan Tahun Baru dan Dalil Dalilnya
Tahun
baru merupakan suatu hari yang datang kembali dan terulang, yang
diagung-agungkan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat
orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Jadi,
setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau
waktu-waktu seperti ini maka itu termasuk hari besar mereka. Karenanya,
larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus buat
mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan
yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam agama Islam, demikian
pula, perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya juga
termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan
sesudahnya yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja sebagaimana
yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Di
antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai
hari-hari besar mereka adalah firmanNya.
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur.” [Al-Furqan : 72]
Ayat
ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman.
Sekelompok ulama seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi’ bin Anas
menafsirkan kata “Az-Zuura” (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari
besar orang kafir.
Dalam
hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata, Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke
Madinah, mereka memiliki dua hari besar untuk bermain-main. Lalu beliau
bertanya, “Dua hari untuk apa ini ?”. Mereka menjawab, “Dua hari di
mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah”. Lantas beliau
bersabda:
"Sesungguhnya
Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang
lebih baik dari keduanya : Iedul Adha dan Iedul Fithri"
Demikian
pula terdapat hadits yang shahih dari Tsabit bin Adl-Dlahhak
Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Seorang laki-laki telah
bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari berkata:
"Sesungguhnya
aku telah bernadzar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah.
Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah di dalamnya
terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah ?
Mereka menjawab, ‘Tidak’. Beliau bertanya lagi. ‘Apakah di dalamnya
terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka ?’. Mereka menjawab,
‘Tidak’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tepatilah
nadzarmu karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat
kepada Allah dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu
dilakukan) oleh manusia"
Umar
bin Al-Khaththtab Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kalian
mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka
pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun
atas mereka”
Dia berkata lagi, “Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka”
Dan
dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
“Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat
tahun baru dan festifal seperti mereka serta menyerupai mereka hingga
dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada
hari kiamat bersama mereka”
Berdasarkan
paparan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya
seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai
agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan
perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam Agama
Islam, termasuk diantaranya pesta ‘Tahun Baru’.
Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri terlah berfirman, “Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya” [Al-Maidah : 2]
Alasan Haramnya Merayakan Tahun Baru
a. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah Orang Kafir
Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya.
Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa.
Padahal berdasarkan hadist yang berasal dari Ibnu Umar ra. bahwa bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Siapa yang menyerupa suatu kaum, maka dia termasuk di antara mereka. (HR Abu Daud)
Dari Abdullah bin Amr berkata bahwa orang yang mendirikan Nairuz dan Mahrajah di atas tanah orang-orang musyrik serta menyerupai mereka hingga wafat, maka di hari kiamat akan dibangkitkan bersama dengan mereka.
Tasyabbuh di sini bersaifat mutlak, baik terkait hal-hal yang bersifat ritual agama ataupun yang tidak terkait.
Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.
b. Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang Kafir
Meski
barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung
niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya
malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Dan sekedar
menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW: “Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka
dia termasuk bagian dari mereka.”
c. Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam.
Maka
mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam adalah upaya
untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim
dikerjakan para ahli maksiat.
d. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bid’ah
Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal.
Sedangkan fenomena sebagian umat Islam yang mengadakan perayaan malam tahun baru masehi di masjid-masijd dengan melakukan shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali karena datangnya malam tahun baru, adalah sebuah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan salafus shalih.
Maka hukumnya bid’ah bila khusus untuk even malam tahun baru digelar ibadah ritual tertentu, seperti qiyamullail, doa bersama, istighatsah, renungan malam, tafakkur alam, atau ibadah mahdhah lainnya. Karena tidak ada landasan syar’inya.
e. Mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.
Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri terlah berfirman, “Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya” [Al-Maidah : 2]
Alasan Haramnya Merayakan Tahun Baru
a. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah Orang Kafir
Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya.
Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa.
Padahal berdasarkan hadist yang berasal dari Ibnu Umar ra. bahwa bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Siapa yang menyerupa suatu kaum, maka dia termasuk di antara mereka. (HR Abu Daud)
Dari Abdullah bin Amr berkata bahwa orang yang mendirikan Nairuz dan Mahrajah di atas tanah orang-orang musyrik serta menyerupai mereka hingga wafat, maka di hari kiamat akan dibangkitkan bersama dengan mereka.
Tasyabbuh di sini bersaifat mutlak, baik terkait hal-hal yang bersifat ritual agama ataupun yang tidak terkait.
Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.
b. Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang Kafir
c. Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam.
d. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bid’ah
Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal.
Sedangkan fenomena sebagian umat Islam yang mengadakan perayaan malam tahun baru masehi di masjid-masijd dengan melakukan shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali karena datangnya malam tahun baru, adalah sebuah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan salafus shalih.
Maka hukumnya bid’ah bila khusus untuk even malam tahun baru digelar ibadah ritual tertentu, seperti qiyamullail, doa bersama, istighatsah, renungan malam, tafakkur alam, atau ibadah mahdhah lainnya. Karena tidak ada landasan syar’inya.
e. Mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,
يا
أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما
جاءكم من الحق …
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar
kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)
f. Hari
raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara
dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang
di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan
Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah,
قدمت
عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر
ويوم النحر
“Saya
mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan
sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya
terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan
Nasa’i).
Perayaan
Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main
dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan
orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut
adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul
Adha.
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.
g. Allah berfirman
menceritakan keadaan ‘ibadur rahman (hamba Allah yang
pilihan),
و
الذين لا يشهدون الزور …
Artinya: “Dan
orang-orang yang tidak turut dalam kegiatan az-Zuur…”
Sebagian ulama menafsirkan kata ‘az-Zuur’ pada ayat di atas dengan hari raya orang kafir. Artinya berlaku sebaliknya, jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir berarti dia bukan orang baik.
Sebagian ulama menafsirkan kata ‘az-Zuur’ pada ayat di atas dengan hari raya orang kafir. Artinya berlaku sebaliknya, jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir berarti dia bukan orang baik.
Keburukan yang Ditimbulkan
Seorang
muslim yang ikut-ikutan merayakan tahun baru akan tertimpa banyak keburukan,
diantaranya:
a. Merupakan salah satu
bentuk tasyabbuh (menyerupai)
dengan orang-orang kafir yang telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
b. Melakukan amal
ketaatan seperti dzikir, membaca Al Qur’an, dan sebagainya yang dikhususkan menyambut malam tahun baru adalah
pebuatan bid’ah yang menyesatkan.
c. Ikhtilath (campur baur) antara
pria dan wanita seperti yang kita lihat pada hampir seluruh perayaan malam
tahun baru bahkan sampai terjerumus pada perbuatan zina,Na’udzubillahi min dzaalika…
d. Pemborosan harta kaum
muslimin, karena uang yang mereka keluarkan untuk merayakannya (membeli
makanan, bagi-bagi kado, meniup terompet dan lain sebagainya) adalah sia-sia di
sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Serta masih banyak keburukan lainnya baik
berupa kemaksiatan bahkan kesyirikan kepada Allah
Penutup
Penutup
Namun
sangat disayangkan masih banyak di antara kaum muslimin yang
meniru-niru perayaan mereka. Bahkan ada yang ikut serta merayakan hari
raya mereka. Di antaranya ada yang memberikan ucapan selamat atau ikut
meramaikannya dengan berbagai acara seperti meniup terompet pada malam
tahun baru dan yang semisalnya. Serta memasang hiasan-hiasan di
rumahnya pada saat perayaan mereka.
Ini
bukan berarti kaum muslimin mengabaikan serta tidak mengambil
pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut. Bahkan kaum muslimin
senantiasa dituntut untuk selalu mengisi hari-harinya dengan kegiatan
yang bermanfaat dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun (hal ini
dilarang) karena perayaan adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak
boleh dikhususkan dengan dilakukan secara berulang-ulang (ditradisikan,
red) kecuali ada perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atau
Rasul-Nya.
Jika
orang-orang terbaik dari umat ini (Rasul dan para sahabat) tidak
melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah
dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat?
Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau
mengamalkan ilmunya? Renungkanlah wahai umat Islam...
Wallahua'lam bissawab..
*Dirangkum dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar